Praktek dan Teori, Ilmu dan Amal: Otoritas, Adab dan Simplifitas Amal - Dalam memahami dunia, praktek sehari-hari dideskripsikan melalui teori. Teori kemudian dikembangkan melalui investigasi pada praktek-praktek keseharian lainnya. Praktek menginformasi teori, demikian pula sebaliknya. Tetapi hubungaan menginformasi-diinformasi ini bukan rangkaian kesatuan, tetapi diskursif. Sebagai contoh, kasus A menghasilkan teori A, kasus B menghasilkan teori B (asumsinya, A lebih dulu dari kasus B). Jika kasus ini berada pada domain yang sama, maka kita meminjam teori kasus A untuk menjelaskan kasus B, tetapi cenderung sebagai template. Ini karena kasus B bukan A sehingga sifatnya unik dan sifat inilah yang dipakai untuk memperluas teori B.



Bagaimana para filsuf dunia bekerja sehingga bisa menghasilkan teori, yang terinformasi dari praktek, dengan tingkat generalisasi yang begitu tinggi? Bayangkan jika ada ribuan kasus, maka setidaknya dia adalah orang yang begitu kaya secara spasial-temporal (perpindahan lokasi dan waktu kejadian hidup), dimana kekayaan ini tidak melulu secara fisik tapi bisa melalui bacaan dan diskusi sehari-hari. Dia mengobervasi, membaca dan memahami kemudian mensintesis banyak praktek-praktek dan teori-teori.

Jika semua orang memiliki kecenderungan menjadi filsuf, maka dunia insyaallah akan menjadi tempat yang lebih indah. Sayangnya para filsuf dunia adalah orang yang begitu eksepsional. Hanya hitungan jari diantara milyaran manusia (dalam kurun beberapa abad). Mereka adalah orang-orang yang memiliki kecintaan ilmu yang mengerikan, pencari kebijaksanaan yang akut. Karena durasi hidup dan energi yang begitu lama dan besar didedikasikan untuk ilmu, maka wajar jika membaca karya mereka cenderung sangat susah dipahami. Maka terciptalah hirarki secara alami (usaha dan semua atribut manusia dalam menimba ilmu tentu tidak bisa lepas dari tangan-tangan Tuhan): “…Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Mujadalah/58: 11)

Hirarki menciptakan otoritas

Ini adalah alami. Otoritas jangan selalu dibayangkan dan dipahami melalui perspektif politik (yang cenderung kotor). Otoritas lahir melalui hirarki, dan bagi orang yang berilmu, hirarki adalah sesuatu yang tidak mereka minta.

Tetapi memang sangat disayangkan karena di dunia ini banyak orang-orang yang berpura-pura pintar dan/atau arogan. Baru memahami sedikit saja sudah lancang mengkritik yang cenderung merendahkan. Kritik perlu, tetapi dengan penuh kesadaran akan kapasitas. Kritik perlu tapi dengan adab, karena orang yang berilmu adalah ORANG YANG BERILMU. Tiga kata ini seharusnya sudah cukup membuat kita menjadi manusia yang beradab dalam mengomentari dan mendiskusikan pikiran-pikiran para filsuf.

Dalam konteks agama, tentu saja kita punya Ulama, Imam. Kerja kerasnya? Tidak usah ditanya. Silahkan baca sirah ulama-ulama besar yang berpindah dari satu negara ke negara yang lain untuk menimba ilmu. Jika filsuf (dalam konteks ini adalah orang yang mengilmui dunia) dan ulama adalah orang yang mengilmui dunia dan akhirat dan mendedikasikan hidupnya untuk mencerahkan umat, maka sudah sepantasnyalah kita beradab lebihi pada ulama. Mereka adalah orang yang derajatnya ditinggikan, otoritatif dan sangat berhati-hati (ulama yang lurus adalah ulama tahu konsekuensi ucapannya di dunia dan akhirat).
“Bahwasanya daging para ulama itu beracun.” (Tabyin Kadzbil Muftari: 29)”

Sekarang, siapakah ulama yang paling besar dan mulia di dunia? Jawabannya sudah terang benderang. Rosul Muhammad SAW.

Tidak seperti para filsuf, Rosul mendapatkan juga ilmu langsung dari Ar Rasyiid, Zat yang Maha Pandai. Tentu Rosul dalam hal ini adalah orang yang paling berilmu dalam urusan akhirat, ilmu yang tanpa perantaraannya, manusia takkan mampu mendapatkan dan memahaminya. Pertanyaanya sekarang, bagaimana praktek dan ilmu itu yang tercermin pada Rosul?

Rosul telah mencerahkan kita bahwa kita harus berilmu sebelum beramal. Jadi Islam sudah jauh lebih dulu menekankan apa yang dalam teori sosiokultural sebagai praksis, untuk menjembatani teori dan praktek.

Terlepas dari peribadatan yang sifatnya ritual, maka sebenarnya kita bisa melihat bahwa amal-amal yang dilakukan Beliau adalah kebaikan-kebaikan yang sederhana: sedekah, senyum, sabar dan seterusnya. Tetapi dibalik amal ini sebenarnya ada ilmu (dan iman) yang begitu luas yang melatarbelakanginya, yang jika kita menemukannya dikemudian hari dimasa yang akan datang, kita melabelinya sebagai ‘hikmah’.

Sebelum kita melanjutkan, kaitan iman, ilmu, amal dan akhlak harus disinggung terlebih dahulu. Manusia berilmu sebelum beramal dan tidak diterima amal tanpa iman, demikian pula sebaliknya. Perwujudan iman dan amal soleh adalah melalui akhlak mulia. “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8952).

Ternyata jaring-jaring teori dan praktek dalam Islam lebih kompleks. Tidak hanya ilmu (teori) dan praktek (amal), tetapi juga harus ada iman dan akhlak yang baik.
Sekarang setelah kita sedikit mengetahui keterkaitannya,maka kita tentu akan lebih sadar lagi bagaimana otoritas ulama dan adab kita terhadapnya. Ulama yang lurus terindentifikasi dari amalannya, dimana akhlak perbuatannya selalu terpuji. Ulama pun punya tingkatan-tingkatan lagi. Karena ada ulama yang akhlak baik tapi ilmu sedikit dan ada yang berilmu banyak (banyak dan sedikit sudah diformulasi, disini bukan ruang untuk mendiskusikan). Tentu saja yang paripurna adalah ketika ilmu paling banyak dan akhlak paling baik.

Siapakah dia? Kita sudah jawab.

Tetapi Rosul punya amal yang sederhana yang implementatif. Dengan ini saya bermaksud mengatakan bahwa kedalaman ilmu (dan iman) tidak bisa direfleksikan secara sempurna melalui amal perbuatan. Selalu ada fragmentasi. Maka itulah lahir interpetasi-interpretasi (tanpa menegasikan otaritas). Karena itulah kita mengatakan ‘wallahua’lam bishawab”. Karena itu para fuqaha’ mengatakan “pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku salah, tapi bisa jadi benar”.

Ucapan ini lahir bukan karena pehaman relativitas absolut akan kebenaran. Tetapi ucapan ini adalah refleksi dari tarik ulur antara otoritas dan kompleksitas jejaring ilmu. Ilmu sangat kompleks sedangkan kognisi manusia sangat terbatas. Bahkan dikatakan di kitab suci bahwa kita dalah makhluk pelupa.

Kompleksitas ilmu ini (dan diiringi dengan iman), dan keterbatasan ruang dan waktu yang menyebabkan kita tidak bisa menguraikan ilmu dibalik amal, yang membuat amalan sifatnya sederhana. Amalan adalah simplifitas ilmu, bukan simplifikasi dan reduksi. Karena itu, orang-orang yang berilmu bukanlah orang yang banyak bicara dan berdebat tetapi merefleksikan ilmunya melalui amalan yang implementatif. Menjelaskan ilmu dibalik amalan secara detail cenderung mustahil dan tidak perlu, karena kompleksitas tadi. Karena seseorang dalam menuntut ilmu haruslah melewati hirarki dan seorang penuntut ilmu haruslah beradab terhadap orang yang mempunyai ilmu, orang yang otoritatif dibidangnya.
Wallahu a’lam bishawab.

By:
Muhalim Dijes
Muhalim, (saat-saat berkutat dengan Bakhtin. 17.10.18)

0 comments:

Post a Comment

 
Top