Dari Cleaning Service menjadi Pengusaha Sukses dan  Religius - Bertemu mantan teman kantor di masjid tadi. Teman yang boleh dibilang salah satu yang menginspirasi saya untuk keluar dari apa yang sering disebut orang sebagai zona nyaman, walaupun saya lumayan telat menyusulnya. Dia sudah resign sepuluh tahun lebih dulu. Setelah resign itu dia sempat kerja lagi di perusahaan tambang dengan gaji belasan juta perbulan tapi kemudian kembali resign, dan akhirnya sekarang memutuskan mandiri.



Teman yang satu ini memang patut jadi role model resigner. Jika standar kesuksesan duniawi adalah masih muda tapi sudah punya rumah, mobil, dan perusahaan, maka dia sudah melampaui standar tersebut. Dia meruntuhkan pesimisme sebagian orang yang beranggapan kesuksesan setelah resign dari perusahaan hanyalah bualan manis dari para motivator hijrah.

"Saya beli rumah dekat sini, bang.." ujarnya menjawab pertanyaan saya mengapa beberapa bulan belakangan sering saya jumpai sholat di masjid dekat rumah saya.
"Jadi rumah itu saya bongkar sampe rata tanah trus saya bangun kantor, alhamdulillah sekarang sudah tahap pembangunan lantai tiga" lanjutnya.

Manusiawi kalo ada sedikit rasa nyesek mendengarnya, campur iri juga sih sebenarnya, mengingat saya sendiri masih dua tahun lagi baru bisa lepas dari perumahan kredit Graha Ribawi Permai, masih terjerat status Ribavora alias pemakan riba.

Saya banyak menjumpai orang yang sukses secara finansial tapi berbanding terbalik dengan habluminallah dan habluninannas, biasanya karena faktor sibuk dengan pengelolaan bisnis. Tapi hal tersebut tampaknya gak berlaku buat teman saya ini. Pekan lalu ia baru pulang dari Palu, jadi relawan kemanusiaan di sana. Menyetir mobil sendiri dari Kendari, membawa berkardus-kardus bantuan dari kocek pribadi.


Trus, gimana dengan habluminallah-nya? Duh, kepo amat sih narasinya.
Yang pasti ia juga baru pulang dari ibadah umroh. Saya sering menjumpainya di masjid, dan istrinya pun berniqob. Secara penilaian zahir insyaallah ia layak jadi tauladan.
Yang bikin saya salut, apa yang ia dapatkan saat ini murni hasil kerja keras, ikhtiar dan doa, bukan dengan jalan pintas semisal menikahi anak pejabat, bukan pula dengan cara membeli bibit bawang bakung lalu menjual sekalian dengan tanah bapaknya.

Dia seolah menunjukkan bahwa kesuksesan bukan seperti mie yang dimasak instan, bukan pula seperti tahu bulat yang digoreng dadakan. Tapi lebih seperti kanjoli yang gurih karena terbuat dari singkong yang melalui proses penghancuran dan pengendapan. Mohon maaf kalo perumpamaannya terdengar maksa dan subyektif.

"Kapan-kapan bolehlah kita ngobrol di warkop sambil ngopi ya, Bang" ujarnya.
Lagi-lagi ada rasa nyesek mendengarnya. Dia ngajak ngopi atau dengan kata lain mau nraktir kopi, padahal dulu saat sekantor dia yang jago bikin kopi.
Oh iya, saya sampai lupa menceritakan. Saat sekantor dulu kami beda divisi. Saya di bagian redaksi sementara dia hanya sesekali masuk ke ruang redaksi untuk mengantar teh dan kopi. Ya, dia dulunya bagian cleaning service di kantor kami.


Motivasi
Tulisan Uztad Arham Rasyid

0 comments:

Post a Comment

 
Top